Sabtu, 07 Januari 2012

Proposal Rancangan Evaluasi Program Pendidikan

PROPOSAL RANCANGAN EVALUASI
PROGRAM PENDIDIKAN DAN LATIHAN PADA KOPERASI PONDOK PESANTREN






Sekretariat Kementerian


Address:

Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 3-4, Kuningan, Jakarta 12940


E-mail:
sekmen@depkop.go.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Telephone:
021-520 4366 - 72

















VISI DAN MISI



Visi Kementerian Koperasi dan UKM
Mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 09/M/2005 tanggal 31 Januari 2005 bahwa kedudukan Kementerian Koperasi dan UKM adalah unsur pelaksana pemerintah dengan tugas membantu Presiden untuk mengkoordinasikan perumusan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pemberdayaan Koperasi dan UMKM di Indonesia. Tugas Kementerian Koperasi dan UKM adalah merumuskan kebijakan dan mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan serta pengendalian pemberdayaan koperasi dan UMKM di Indonesia. Sesuai dengan kedudukan, tugas dan fungsinya Kementerian Koperasi dan UKM telah menetapkan visi, yaitu:

Menjadi Lembaga Pemerintah yang kredibel dan efektif untuk mendinamisasi pemberdayaan koperasi dan UMKM dalam rangka meningkatkan produktivitas, daya saing dan kemandirian.

Misi Kementerian Koperasi dan UKM
Rumusan misi Kementerian Koperasi dan UKM adalah: Memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan nasional melalui perumusan kebijakan nasional; pengkoordinasian perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kebijakan pemberdayaan di bidang koperasi dan UMKM; serta peningkatan sinergi dan peran aktif masyarakat dan dunia usaha dalam rangka meningkatkan produktivitas, daya saing dan kemandirian koperasi dan UMKM secara sistimatis, berkelanjutan dan terintegrasi secara nasional.

Tujuan Kementerian Koperasi dan UKM
Tujuan Kementerian Koperasi dan UKM secara umum adalah menjadikan KUMKM sebagai pelaku ekonomi utama dalam perekonomian nasional yang berdaya saing. Tujuan Kementerian Koperasi dan UKM selama periode tahun 2005 - 2009 dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. Mewujudkan kondisi yang mampu menstimulan, mendinamisasi dan memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya 70.000 (tujuh puluh ribu) unit koperasi yang berkualitas usahanya dan 6.000.000 (enam juta) unit usaha UMKM baru;
  2. Menumbuhkan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan usaha koperasi dan UMKM pada berbagai tingkatan pemerintahan;
  3. Meningkatkan produktivitas, daya saing dan kemandirian koperasi dan UMKM di pasar dalam dan luar negeri;
  4. Mengembangkan sinergi dan peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM;
  5. Memberikan pelayanan publik yang berkualitas, cepat, tepat, transparan dan akuntabel.


 
Top of Form


I.  Pendahuluan

A.    LATAR BELAKANG
Pondok Pesantren (Ponpes) adalah salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, keberadaan dan perannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa telah diakui oleh masyarakat. Dalam perkembangannya Pondok Pesantren berfungsi sebagai pusat bimbingan dan pengajaran ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh biddin) telah banyak melahirkan ulama, tokoh masyarakat dan mubaligh. Seiring dengan laju pembangunan dan tuntutan zaman serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Ponpes telah melakukan berbagai inovasi untuk meningkatkan peran dan sekaligus memberdayakan potensinya bagi kemaslahatan lingkungannya. Salah satu bentuk adaptasi nyata yang telah dilaksanakan adalah pendirian koperasi di lingkungan Ponpes dan dikenal dengan sebutan Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren). Keberadaan gerakan koperasi di kalangan pesantren sebenarnya bukanlah cerita baru, sebab pendiri koperasi pertama di bumi Nusantara adalah Patih Wiriatmadja, seorang muslim yang sadar dan menggunakan dana masjid untuk mengerakan usaha simpan pinjam dalam menolong jamaah yang membutuhkan dana. Tumbuhnya gerakan koperasi di kalangan santri merupakan salah satu bentuk perwujudan dari konsep ta’awun (saling menolong), ukhuwah (persaudaraan), tholabul ilmi (menuntut ilmu) dan berbagai aspek ajaran Islam lainnya. Eksistensi Kopontren dapat ditinjau melalui tiga dimensi yaitu sebagai pendukung mekanisme kehidupan ekonomi Ponpes, sebagai pembinaan kader koperasi pedesaan dan sebagai stimulator sosio-ekonomi masyarakat desa di sekitar Ponpes. Dewasa ini, Kopontren telah berkembang dan menjadi semacam representasi lembaga ekonomi santri yang diinisiasi secara bottom up dengan ciri kemandirian yang khas. 
Sejalan dengan itu, Kementerian KUKM memberikan atensi yang sama kepada bentuk koperasi lainnya melalui penyelenggaraan Diklat bagi beberapa Kopontren di sekitar wilayah Bekasi dan Bogor. Program yang diterapkan bertujuan untuk memperkokoh kapasitas internal Kopontren dalam melayani anggotanya yaitu para santri dan masyarakat di sekitarnya. Setelah berjalan dalam kurun waktu tertentu, dipandang perlu untuk mengamati dan mengevaluasi sejauhmana hasil diklat diimplementasikan dalam pengelolaan organisasi Kopontren. Naskah ini menyajikan ringkasan atas hasil kajian dimaksud.

B. Hipotesa Penelitian

Indikator Kinerja
Awal
Tengah
Akhir
Penguasaan Materi
50 % dari total peserta dapat mengaplikasikan diklat di lapangan
75 % dari total peserta dapat mengaplikasikan diklat di lapangan
99 % dari total peserta dapat mengaplikasikan diklat di lapangan
Tingkat Partisipasi dalam mengikuti diklat
50 % dari total pesantren mengikuti diklat
75 % dari total pesantren mengikuti diklat
99 % dari total pesantren mengikuti diklat


C. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan hasil preliminary research ditemukan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.    Beberapa Kopontren belum menunjukkan perubahan kinerja dan keragaman
yang signifikan setelah mengikuti diklat.
2.    Perluasan pangsa pasar belum berhasil dilakukan dan masih terbatas kepada
segment tertentu khususnya para santri di lingkungan sendiri.
3.    Pengelolaan dan pertanggungjawaban dana anggota masih belum efektif dan
kurang transparan. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka pertanyaan pokok penelitian (Mayor Research Question) adalah “Mengapa Kopontren yang sudah mengikuti Diklat Perkoperasian belum secara maksimal dalam mengimplementasikan ilmu dan pengetahuan yang didapat dari pelatihan?”Adapun pertanyaan khusus penelitian (Minor Research Questions) adalah :
a)    Bagaimana bentuk dan jenis program diklat yang dibutuhkan untuk pembinaan Kopontren ?
b)    Sejauh manakah efektivitas program diklat dalam menunjang pertumbuhan Kopontren ?
c)    Upaya apa saja yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerja Kopontren ?
d)     Bagaimana pandangan warga masyarakat sekitar Pesantren terhadap keberaadaan Kopontren ?
e)    Apakah faktor-faktor keberhasilan maupun kegagalan dalam penyelenggaraan Kopontren ?

D. Tujuan dan Manfaat Kajian
            1. Tujuan Kajian
a)    Mengevaluasi efektivitas pelaksanaan diklat perkoperasian di lingkungan Kopontren;
b)    Merumuskan model dan sistem evaluasi diklat perkoperasian yang ideal di lingkungan Kopontren.

2. Manfaat Kajian
Tersedianya bahan dan data tentang kondisi empirik Kopontren yang dapat digunakan sebagai bahan perumusan kebijakan pembinaan Koperasi di lingkungan Ponpes






BAB II
LANDASAN TEORI DAN DESKRIPSI PROGRAM PENDIDIKAN DAN LATIHAN PADA KOPERASI PONDOK PESANTREN


A. EVALUASI PROGRAM

            Secara umum evaluasi adalah suatu proses sistematik untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan efisiensi suatu program. Dalam konteks evaluasi di lingkungan diklat, terdapat tiga istilah yang memiliki arti berbeda karena tingkat penggunaan yang berbeda, yaitu istilah pengukuran (measurement), penilaian (evaluation) dan pengambilan keputusan (decision making). Ketiga istilah ini berkaitan erat dan merupakan suatu rangkaian aktivitas dalam evaluasi dalam dunia kediklatan.

Pengukuran adalah suatu prosedur untuk mendapatkan informasi atau data secara kuantitatif, dengan pemberian angka kepada suatu sifat atau karakteristik tertentu kepada seseorang berdasarkan aturan tertentu. Hasil pengukuran berupa data kuantitatif dalam bentuk angka-angka (skor). Oleh karena itu, dalam pengukuran dibutuhkan adanya alat ukur (instrumen) yang digunakan untuk mengumpulkan data. Sifat dari pengukuran adalah obyektif. Pengukuran tidak membuahkan nilai atau baik buruknya sesuatu, tetapi hasil pengukuran dapat dipakai untuk penilaian atau evaluasi.

Penilaian adalah kegiatan untuk mengetahui apakah suatu program telah berhasil dan efisien. Penilaian bersifat kualitatif untuk menentukan apakah sesuatu (seseorang) tergolong kategori baik atau kurang, tepat atau tidak tepat, dan kualitas lainnya. Penilaian pada dasarnya adalah pemberian pertimbangan (judgement) terhadap skor atau angka-angka yang diperoleh melalui pengukuran. Dengan demikian dalam pertimbangan memuat faktor-faktor yang bersifat subyektif dalam kadar tertentu (relatif).

Pengambilan keputusan (kebijakan) adalah tindakan yang diambil oleh seseorang atau lembaga berdasarkan data (informasi) yang telah diperoleh dengan memasukkan berbagai pertimbangan.

Dari pengertian tersebut, jelas terlihat adanya tingkatan yang berbeda. Pengukuran tidak membuahkan nilai atau baik buruknya sesuatu, tetapi hasil pengukuran dapat dipakai untuk membuat penilaian. Penilaian memerlukan data yang baik mutunya dan salah satu sumbernya adalah hasil pengukuran. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa penilaian tetap dilakukan meskipun tanpa didahului oleh pengkuran. Demikian pula halnya dengan pengambilan keputusan. Keputusan yang baik memerlukan hasil penilaian yang baik.

Dalam perspektif critical event models, evaluasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari seluruh tahapan siklus diklat. Pada konteks ini evaluasi dilakukan terhadap setiap tahapan mulai dari analisis kebutuhan diklat, pelaksanaan diklat sampai dengan setelah selesai pelaksanaan atau pasca diklat.

Perkembangan konsep evaluasi yang ada pada saat ini menunjukkan arah yang lebih luas. Konsep tersebut pada umumnya berkisar pada pandangan sebagai berikut :

1. Evaluasi tidak hanya diarahkan kepada tujuan diklat yang ditetapkan, tetapi juga terhadap tujuan-tujuan yang tersembunyi, termasuk efek yang mungkin timbul

2. Evaluasi tidak hanya melalui pengukuran perilaku peserta diklat, tetapi juga melakukan pengkajian terhadap komponen-komponen diklat, baik masukkan – proses – keluaran

3. Evaluasi tidak hanya dimaksudkan untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, tetapi juga untuk mengetahui apakah tujuan-tujuan tersebut penting bagi peserta diklat dan bagaimana peserta mencapainya

4. Mengingat luasnya tujuan dan obyek evaluasi, maka alat yang digunakan dalam pengukuran sangat beraneka ragam, tidak hanya terbatas pada tes, tetapi juga yang bukan tes


1. Model Evaluasi

Secara normatif program pelatihan dan pengembangan (training and development) sebagai bagian integral dari proses pengembangan sumberdaya manusia (SDM) menjadi penting dan strategis dalam mendukung visi dan misi organisasi. Untuk menjamin kualitas penyelenggaraan program pelatihan, maka diperlukan suatu fungsi kontrol yang dikenal dengan evaluasi. Evaluasi pelatihan memiliki fungsi sebagai pengendali proses dan hasil program pelatihan sehingga akan dapat dijamin suatu program pelatihan yang sistematis, efektif dan efisien. Evaluasi pelatihan merupakan suatu proses untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan dalam program pelatihan. Evaluasi pelatihan lebih difokuskan pada peninjauan kembali proses pelatihan dan menilai hasil pelatihan serta dampak pelatihan yang dikaitkan dengan kinerja SDM.

2. Evaluasi Model CIPP

Model CIPP dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam's merupakan model untuk menyediakan informasi bagi pembuat keputusan, jadi tujuan evaluasi ini adalah untuk membuat keputusan. Komponen model evaluasi ini adalah konteks, input, proses dan produk. Komponen dalam model evaluasi ini sebagai berikut :
·         Context (konteks)
berfokus pada pendekatan sistem dan tujuan, kondisi aktual, masalah-masalah dan peluang yang melayani pembuatan keputusan dari perencanaan program yang sedang berjalan, berupa diagnostik yakni menemukan kesenjangan antara tujuan dengan dampak yang tercapai.
·         Input (masukkan)
berfokus pada kemampuan sistem, strategi pencapaian tujuan, implementasi disain dan cost-benefit dari rancangan yang melayani pembuatan keputusan tentang perumusan tujuan-tujuan operasional.
·         Process (proses)
memiliki fokus lain, yaitu menyediakan informasi untuk membuat keputusan day to day decision making untuk melaksanakan program, mambuat catatan atau “record”, atau merekam pelaksanaan program dan mendeteksi atau pun meramalkan pelaksanaan program.
·         Product (produk)
berfokus pada mengukur pencapain tujuan selama proses dan pada akhir program.

3. Tahapan Evaluasi

Langkah 1 : Persiapan Evaluasi

Pada langkah ini terdapat tiga kegiatan pokok yang berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi yaitu : menentukan tujuan atau maksud evaluasi, merumuskan informasi yang akan dicari atau memfokuskan evaluasi dan menentukan cara pengumpulan data.

Beberapa kriteria yang digunakan dalam merumuskan tujuan evaluasi adalah :
(1) kejelasan,
2) keterukuran,
(3) kegunaan dan kemanfaatan,
(4) relevansi dan kesesuaian atau compatibility.

Jadi tujuan evaluasi harus jelas, terukur, berguna, relevan dan sesuai dengan kebutuhan pengembangan program diklat.

Dalam merumuskan informasi atau memfokuskan evaluasi harus berdasarkan kepada tujuan evaluasi. Terdapat beberapa metode dalam merumuskan pertanyaan evaluasi yaitu :
(1) menganalisis objek,
(2) menggunakan kerangka teoritis,
(3) memanfaatkan keahlian dan pengalaman dari luar,
(4) berinteraksi dengan audien kunci.

Menentukan cara pengumpulan data, misalnya survei atau yang lain, ditentukan pula pendekatan dalam pengumpulan data. Terdapat beberapa prosedur pengumpulan data dengan pendekatan kuantitatif, misalnya observasi, tes, survei atau lainnya.

Langkah 2 : Mengembangkan Instrumen

Setelah metode pengumpulan data ditentukan, selanjutnya ditentukan pula bentuk instrumen yang akan digunakan serta kepada siapa instrumen tersebut ditujukan (respondennya). Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh instrumen evaluasi sebagai berikut :
·         validitas adalah keabsahan instrumen dalam mengukur apa yang seharusnya diukur,
·          reliabilitas adalah ketetapan hasil yang diperoleh, misalnya bila melakukan pengukuran dengan orang yang sama dalam waktu yang berlainan atau orang yang lain dalam waktu yang sama,
·         objektivitas adalah upaya penerjemahan hasil pengukuran dalam bilangan atau pemberian skor tidak terpengaruh oleh siapa yang melakukan,
·         standarisasi untuk memastikan evaluator mempunyai persepsi yang sama dalam mengukur karena adanya petunjuk khusus pengisian data,
·         relevansi adalah kepatuhan untuk mengembangkan berbagai pertanyaan agar sesuai dengan maksud instrumen,
·         mudah digunakan.

Langkah 3 : Mengumpulkan Data

Dalam melakukan pengumpulan data ini dilakukan dengan berbeda-beda pada masing-masing level. Pada level reaksi data yangg dikumpulkan berupa data kuantitatif dengan menggunakan metode survei. Kemudian pada level pembelajaran data yang dikumpulkan berupa data kuantitatif dengan menggunakan tes. Selanjutnya pada level perilaku, data yang dikumpulkan melalui observasi atau dapat juga dengan rencana aksi (action plan), yaitu rencana tahapan tindakan yang akan dilakukan oleh peserta pelatihan dalam mengimplementasikan hasil pelatihan yang telah diikuti. Dalam hal ini para peserta harus mempunyai suatu sasaran peningkatan kinerja/kompetensi yang bersangkutan dalam unit kerja masing-masing yang kemudian diukur dengan mengunakan patokan kinerja/kompetensi yang bersangkutan. Kemudian yang terakhir, yaitu pada level hasil atau dampak, pada data yang dikumpulkan dapat melalui atasan, peserta pelatihan, bawahan atau rekan kerja (client).

Langkah 4 : Mengolah dan Menganalisis Data

Setelah data yang diperlukan sudah terkumpul, maka langkah berikutnya adalah mengolah dan menganalisis data. Dalam menganalisis data dan menafsirkannya (menginterpretasikan) harus berdasarkan hasil data yang telah berhasil didapatkan. Kemudian menyajikannya dalam bentuk yang mudah dipahami dan komunikatif.

Langkah 5 : Menyusun Laporan

Melaporkan merupakan langkah terakhir kegiatan evaluasi pelatihan. Laporan disusun dengan format yang telah disepakati oleh tim. Langkah terakhir evaluasi ini erat kaitannya dengan tujuan diadakannya evaluasi. Langkah-langkah tersebut dapat dengan digunakan untuk menjawab sejauh mana evaluasi pelatihan yang akan dilakukan dan bagaimana pelaksanaan proses pelatihan dari awal hingga akhir sehingga memberikan hasil untuk improvisasi pada pelatihan-pelatihan selanjutnya.


B. Perencanaan Program Pelatihan

Ada beberapa langkah dalam mempersiapkan program pelatihan adalah melalui langkah berikut.

1. Need Assessment (Penilaian dan Identifikasi Kebutuhan).

Untuk memutuskan pendekatan yang akan digunakan, organisasi perlu mengidentifikasikan kebutuhan-kebutuhan pelatihan. Penilaian kebutuhan mendiagnosa masalah-masalah dan tantangan lingkungan yang dihadapi organisasi sekarang. Selain pendekatan sumber daya manusia dalam mengidentifikasikan suatu tugas, pelatih memulai dengan mengevaluasi gambaran suatu pekerjaan penting yang diperoleh.

2. Training and Development Program (Sasaran-sasaran Pelatihan dan Pengembangan).

Setelah evaluasi kebutuhan-kebutuhan pelatihan dilakukan, maka sasaran dinyatakan dan ditetapkan. Sasaran ini mencerminkan perilaku dan kondisi yang diinginkan dan berfungsi sebagai standar-standar dimana prestasi kerja individual dan efektivitas program pelatihan dapat diukur. Pada tahap ini, kriteria evaluasi sebaiknya juga ditetapkan untuk memudahkan program evaluasi pelaksanaan program pelatihan.

3. Menyusun Program Content (Isi Program).

Isi program ditentukan oleh identifikasi kebutuhan-kebutuhan dan sasaran-sasaran pelatihan. Apapun isinya, program pelatihan hendaknya memenuhi kebutuhan-kebutuhan organisasi dan peserta. Pada peserta juga perlu meninjau isi program, apakah relevan dengan kebutuhan atau motivasinya untuk mengikuti pelatihan tersebut rendah atau tinggi. Agar isi program pelatihan efektif, prinsip-prinsip belajar harus diperhatikan.

4. Mendesain Learning Principle (Prinsip-prinsip Belajar).

Ada beberapa prinsip belajar yang bisa digunakan sebagai pedoman tentang cara-cara belajar yang paling efektif bagi karyawan. Prinsip-prinsip ini adalah bahwa program pelatihan bersifat partisipatif, relevan, pengulangan dan pemindahan serta memberikan umpan balik mengenai kemajuan para peserta pelatihan. Semakin terpenuhinya prinsip-prinsip tersebut, pelatihan akan semakin efektif. Disamping itu, perancang program pelatihan perlu juga menyadari perbedaan individual, karena pada hakekatnya para karyawan mempunyai kemampuan, sifat dan sebagainya yang berbeda satu sama lainnya.

5. Evaluation (Evaluasi).

Setelah program pelatihan dilaksanakan, maka program ini perlu dievaluasi untuk mengetahui sampai sejauh mana tujuannya telah dicapai. Untuk itu manajemen harus mengevaluasi kegiatan program pelatihan secara sistematis dengan tolak ukur yang mencakup reaksi, pembelajaran, perilaku dan hasil.

B. Evaluasi Program Pelatihan

Beberapa pimpinan instansi/perusahaan bertanya-tanya mengapa anak buah yang dikirim untuk mengikuti pelatihan tapi hasilnya tak sepadan dengan peningkatan kinerjanya. Untuk itu berikut ini disajikan beberapa hal yang diperlukan untuk mengevaluasi sebuah pelatihan, agar ada perbaikan di masa yang akan datang.

Evaluasi yang dilakukan pada umumnya masih bersifat evaluasi dari peserta pelatihan, dengan cara mengisi kuestioner apakah pelatihan dimaksud sesuai dengan bidang kerjanya, apakah penyajiannya baik, akomodasi bagus dsb nya. Sedangkan evaluasi yang dilakukan oleh staf, berupa laporan hasil pelatihan yang ditujukan kepada perusahaan pada umumnya bernilai “baik”, dengan harapan staf tadi dapat dikirim lagi ke seminar atau pelatihan berikutnya.

Pada dasarnya, evaluasi setiap program pelatihan dapat dilakukan, dengan memperoleh feedback dari peserta, yang dapat dibagi menjadi 4 (empat) level, sebagai berikut:

   1. Evaluasi pada tingkat reaksi (Reaction level). Pada evaluasi ini yang diukur dan dinilai adalah reaksi peserta. Dalam hal ini diukur tingkat kepuasan peserta terhadap program pelatihan yang diselenggarakan, sehingga dapat dilakukan perbaikan atas program tersebut.
   2. Evaluasi pada tingkat pembelajaran (Learning Level). Evaluasi ini dilakukan dengan tujuan utama mengukur seberapa jauh perubahan kompetensi para peserta segera setelah pelatihan berakhir, sebelum mereka kembali bekerja. Dengan kata lain, tujuan evaluasi pada tingkat ini adalah peningkatan kompetensi peserta dalam kelas dan untuk mengidentifikasikan keberhasilan komponen sistem pelatihan (metode, materi, dll).
   3. Evaluasi pada tingkat perilaku dalam pekerjaan (On the job behavioral Level). Evaluasi pada tingkat ini yang diukur adalah pengaruh program pelatihan terhadap penerapannya ditempat kerja. Dengan kata lain, tujuan evaluasi pada tahap ini adalah perbaikan perilaku peserta dalam pekerjaan.
   4. Evaluasi pada tingkat hasil (Result level). Evaluasi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengukur seberapa jauh peningkatan produktivitas yang dicapai pekerja, serta unit kerja, setelah mengikuti program pelatihan. Atau untuk menentukan apakah manfaat pelatihan lebih tinggi dibanding dengan biaya yang telah dikeluarkan.

Pada umumnya kita baru bisa mengukur pada tahap 3, karena untuk menilai sesuai tahap 4 dibutuhkan data base yang bagus, serta keterlibatan dengan pimpinan unit kerja yang telah mengirimkan stafnya ke pelatihan tersebut. Bagi yang ditempatkan di unit kerja yang profit oriented, mereka pada umumnya telah disibukkan dengan target-target bisnis, sehingga tak memungkinkan untuk melibatkan diri secara aktif, baik melalui kuestioner ataupun melalui penilaian langsung, apakah hasil pelatihan dapat diaplikasikan di bidang pekerjaannya.

Kita menyadari, bahwa SDM merupakan aset perusahaan, dan untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas SDM, antara lain bisa diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Oleh karena itu diperlukan campur tangan dari Manajemen perusahaan, agar proses evaluasi pendidikan dan pelatihan ini dapat berjalan lancar. Apalagi bagi perbankan, terdapat aturan Bank Indonesia, bahwa minimal setiap Bank harus mencadangkan 5% dari BTK (Biaya Tenaga Kerja) untuk mendidik para karyawannya.

Apabila kita melihat laporan keuangan publikasi Bank-bank , terlihat bahwa angka BTK cukup tinggi, oleh karena itu besarnya biaya pendidikan yang dikeluarkan harus diimbangi dengan hasil yang dapat diaplikasikan dilapangan. Disadari, ada pendidikan yang bersifat konseptual, yang hasilnya tak dapat dilihat langsung, namun akan terlihat pada beberapa tahun kedepan. Pendidikan yang bersifat aplikatif akan langsung terlihat hasilnya, minimal terjadi penurunan tingkat kesalahan, atau kinerja unit kerja tersebut meningkat.

D. KOPERASI
            Koperasi adalah asosiasi orang-orang yang bergabung dan melakukan usaha bersama atas dasar prinsip-prinsip Koperasi, sehingga mendapatkan manfaat yang lebih besar dengan biaya yang rendah melalui perusahaan yang dimiliki dan diawasi secara demokratis oleh anggotanya.
Koperasi bertujuan untuk menjadikan kondisi sosial dan ekonomi anggotanya lebih baik dibandingkan sebelum bergabung dengan Koperasi.
Dari pengertian di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Asosiasi orang-orang. Artinya, Koperasi adalah organisasi yang terdiri dari orang-orang yang terdiri dari orang-orang yang merasa senasib dan sepenanggungan, serta memiliki kepentingan ekonomi dan tujuan yang sama.
  2. Usaha bersama. Artinya, Koperasi adalah badan usaha yang tunduk pada kaidah-kaidah ekonomi yang berlaku, seperti adanya modal sendiri, menanggung resiko, penyedia agunan, dan lain-lain.
  3. Manfaat yang lebih besar. Artinya, Koperasi didirikan untuk menekan biaya, sehingga keuntungan yang diperoleh anggota menjadi lebih besar.
  4. Biaya yang lebih rendah. Dalam menetapkan harga, Koperasi menerapkan aturan, harga sesuai dengan biaya yang sesungguhnya, ditambah komponen lain bila dianggap perlu, seperti untuk kepentingan investasi.
Menurut UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, pengertian Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Sementara menurut ICA Cooperative Identity Statement, Manchester, 23 September 1995, Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial, dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis.
1. Prinsip-prinsip Koperasi
Koperasi bekerja berdasarkan beberapa prinsip. Prinsip ini merupakan pedoman bagi Koperasi dalam melaksanakan nilai-nilai Koperasi.
  1. Keanggotaan sukarela dan terbuka. Koperasi adalah organisasi yang keanggotaannya bersifat sukarela, terbuka bagi semua orang yang bersedia menggunakan jasa-jasanya, dan bersedia menerima tanggung jawab keanggotaan, tanpa membedakan gender, latar belakang sosial, ras, politik, atau agama.
  2. Pengawasan oleh anggota secara demokratis. Koperasi adalah organisasi demokratis yang diawasi oleh anggotanya, yang secara aktif menetapkan kebijakan dan membuat keputusaan laki-laki dan perempuan yang dipilih sebagai pengurus atau pengawas bertanggung jawab kepada Rapat Anggota. Dalam Koperasi primer, anggota memiliki hak suara yang sama (satu anggota satu suara) dikelola secara demokratis.
  3. Partisipasi anggota dalam kegiatan ekonomi. Anggota menyetorkan modal mereka secara adil dan melakukan pengawasan secara demoktaris. Sebagian dari modal tersebut adalah milik bersama. Bila ada balas jasa terhadap modal, diberikan secara terbatas. Anggota mengalokasikan SHU untuk beberapa atau semua dari tujuan seperti di bawah ini : a) Mengembangkan Koperasi. Caranya dengan membentuk dana cadangan, yang sebagian dari dana itu tidak dapat dibagikan. b) Dibagikan kepada anggota. Caranya seimbang berdasarkan transaksi mereka dengan koperasi. c) Mendukung keanggotaan lainnya yang disepakati dalam Rapat Anggota.
  4. Otonomi dan kemandirian. Koperasi adalah organisasi otonom dan mandiri yang diawasi oleh anggotanya. Apabila Koperasi membuat perjanjian dengan pihak lain, termasuk pemerintah, atau memperoleh modal dari luar, maka hal itu haarus berdasarkan persyaratan yang tetap menjamin adanya upaya: a) Pengawasan yang demokratis dari anggotanya. b) Mempertahankan otonomi koperasi.
  5. Pendidikan, pelatihan dan informasi. Koperasi memberikan pendidikan dan pelatihan bagi anggota, pengurus, pengawas, manager, dan karyawan. Tujuannya, agar mereka dapat melaksanakan tugas dengan lebih efektif bagi perkembangan Koperasi. Koperasi memberikan informasi kepada maasyarakat umum, khususnya orang-orang muda dan tokoh-tokoh masyaralat mengenai hakekat dan manfaat berkoperasi.
  6. Kerjasamaa antar koperasi. Dengan bekerjasama pada tingkat lokal, regional dan internasional, maka: a) Gerakan Koperasi dapat melayani anggotanya dengan efektif. b) Dapat memperkuat gerakan Koperasi.
  7. Kepedulian terhadap masyarakat. Koperasi melakukan kegiatan untuk pengembangan masyarakat sekitarnya secara berkelanjutan melalui kebijakan yang diputuskan oleh Rapat Anggota.
Sementara itu Prinsip Koperasi menurut UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian adalah:
  1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka.
  2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis.
  3. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota.
  4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal.
  5. Kemandirian.
  6. Pendidikan perkoperasian.
  7. Kerja sama antar Koperasi.

E. PESANTREN DAN KOPERASI
Peran pesantren dalam pengembangan dan pendayagunaan potensi masyarakat sudah tidak diragukan lagi. Pendayagunaan potensi ekonomi disamping potensi-potensi lainnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam misi dakwah memodernkan ummat agar mereka selalu berpegang teguh kepada Iman, Islam dan Ihsan.

Salah satu upaya yang dilakukan dalam mengembangkan potensi ekonomi masyarakt oleh pesantren adalah dengan pembentukan koperasi. Apalagi saat ini upaya pemerintah dalam memudahkan kegiatan rakyat dalam pembiayaan usaha telah mengarah kepada kerjasama dengan ormas-ormas seperti NU dan Muhammadiyah. Pesantren seharusnya tanggap menyikapi tren-tren yang berkembang di masyarakat sebagai bagian dari upaya bernegara dengan baik.


Fungsi koperasi yang dibentuk oleh pesantren adalah untuk menstimulasi potensi ekonomi pesantren yang berkemungkinan dapat membantu masyarakat dan ummat. Fungsi lain adalah sebagai salah satu alternatif pembiayaan biaya operasional pesantren dari bagi hasil yang didapat dari usaha-usaha yang dilakukan koperasi seperti katering, pemondokan, media komunitas, usaha sembako, minimarket dan lain sebagainya.

Pesantren juga dapat berfungsi sebagai inkubator bisnis dengan mengandalkan pengalaman pesantren yang dapat ditularkan kepada masyarakat khususnya mereka yang berhubungan langsung dengan pesantren seperti masyarakat sekitar, masyarakat pengguna jasa pesantren maupun jaringan pesantren itu sendiri.

Keuangan pesantren juga dapat terbantu dengan manajemen yang lebih teratur ala koperasi. Pembayaran uang sekolah sebagai bagian dari penerimaan dan pembayaran biaya operasional seperti gaji guru, karyawan dan pembangunan fasilitas, sebagai bagian dari pengeluaran, dapat disalurkan melalui koperasi dalam hal ini dengan berbentuk BMT (Baitul Mal Watamwil). Sehingga persantren tidak saja berkembang secara internal tapi juga secara eksternal dengan perluasan dan pengembangan pesantren cabang dengan misi yang sama di berbagai daerah yang membutuhkannya.

Selain fungsi di atas, koperasi pesantren juga dapat difungsikan sebagai BAZ atau LAZ, sebagai sarana simpan pinjam yang dapat menjamin kelangsungan santri melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, dapat juga menampung tabungan orang tua agar suatu saat kelak dana tersebut dapat digunakan sebaai modal usaha anak-anaknya yang nyantri atau modal kuliah, sebagai media tolong menolong atau filantropi. Melalui koperasi, pesantren dapat melakukan program subsidi silang, yakni kelompok masyarakat yang kaya dapat membantu kelompok masyarakat lainnya yang belejar di pesantren yang tidak mampu.


Sebenarnya, pesantren yang mendirikan koperasi bukanlah hal yang baru. Pesantren-pesantren pra kemerdekaan juga telah melakukannya dan terbukti dapat meningkatkan wawasan alumninya akan pentingnya jiwa kepengusaan yang baik. Baik itu untuk dirinya sendiri maupun sebagai bagian dari dakwah bil hal.

Dalam sejarah perjalanan pesantren, ada beberapa bentuk koperasi dengan kepemilikan dan keanggotaan yang berbeda dapat berada dalam sebuah pesantren sekaligus.

Bentuk koperasi pertama selain yang tersebut di atas adalah koperasi karyawan. Fungsi utama koperasi ini selain untuk mengembangkan potensi karyawan juga untuk menunjang dan menjamin keberlangsungan hidup karyawan sebuah pesantren. Seperti diketahui, karyawan sebuah pesantren biasanya hidup serba kekurangan karena banyak dari mereka berniat bekerja untuk pesantren adalah untuk ibadah. Sehingga peran koperasi adalah lebih kepada penjaminan asuransi masa tua bagi karyawan.

Bentuk Koperasi kedua adalah koperasi guru. Kasus ini hampir sama dengan kasus pertama dan hanya saja koperasi guru biasanya terlihat lebih modern dan canggih. Koperasi guru selain berfungsi seperti yang tersebut di atas, juga biasanya beroperasi dalam usaha-usaha penerbitan buku, majalah komersil maupun non-komersil, jurnal dan lain sebagainya yang dihasilkan oleh kreatifitas tulis menulis para guru, hasil riset, seminar, diskusi dan lain sebagainya yang berhubungan dengan penerbitan, media dan lain-lain.

Bentuk koperasi yang ketiga adalah koperasi santri per-angkatan. Di berbagai pesantren, sebuah angkatan atau stambuk biasanya didorong untuk membuat persatuan yang mengarah kepada pemberdayaan bersama melalui koperasi. Misalnya stambuk angkatan 2008 yang baru masuk ke sebuah pesantren mendirikan koperasi yang diwakili oleh orang tua masing-masing. Tujuannya adalah menjalin komunikasi antar orang tua yang berfungsi kepada pengembangan minat belajar anaknya. Melalui komunikasi ini dapat dijalin solidaritas untuk saling membantu sesama. Di berbagai kasus dalam sebuah stambuk bisa juga terdiri dari ratusan siswa dari wilayah atau konsulat yang berbeda. Sehingga para orang tua perkonsulat dapat juga mendirikan koperasi demi pengembangan potensi mereka.

Hal ini pernah terjadi di Pesantren Al Kautsar Al Akbar, Medan. Saat itu para orang tua dari konsulat (baca: domisili) Pangkalan Susu, Langkat dan Pangkalan Berandan membentuk koperasi masing-masing sehingga mereka dapat saling memudahkan satu sama lain, misalnya dalam pembayaran uang sekolah yang dilakukan secara kolektif, penjemputan di masa libur, tamasya bersama dan pengajian bersama. Mereka bahkan dapat membeli atau menyewa bus jemputan khusus saat masa liburan telah tiba. Para orang tua tersebut pada akhirnya mengadakan majlis taklim secara berkala untuk demi menunjang kepampuan anak-anak masing-masing.

Koperasi ini terus berlanjut sampai suatu saat masa pendidikan angkatan tersebut berakhir dan dapat diteruskan kemudian menjadi sebuah koperasi alumni pesantren A dan lain sebagainya.

Bentuk koperasi berikutnya adalah koperasi alumni. Koperasi ini dibentuk para alumni sebuah lembaga pendidikan atau pesantren dengan tujuan mendayagunakan potensi alumni. Koperasi alumni juga dapat menjadi tempat sharing potensi bisnis, bidang usaha dan dunia pekerjaan dalam masyarakat. Selain itu, koperasi alumni juga berfungsi sebagai media atau forum masa transisi santri dari dunia pendidikan kepada masyarakat, khususnya masyarakat baru yang digelutinya.

Berbagai bentuk-bentuk kerjasama dapat dilakukan melalui koperasi ini. Baik itu yang berhubungan dengan dunia usaha, dakwah maupun kerjasam-kerjasama dalam mengarungi dunia politik praktis. Di berbagai kasus banyak koperasi alumni pesantren yang malah semakin berkembang kepada proyek inkubasi bisnis maupun yang berevolusi menjadi BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah).

Perbedaan utama koperasi pesantren dengan bentuk-bentuk koperasi di atas adalah keanggotaan koperasi pesantren biasanya berkembang secara kuantitas. Keanggotaan koperasi pesantren dapat dikembangkan secara horizontal ke masyarakat sekitar pesantren, masyarakat umum dan lain sebagainya tanpa batas.

Sedangkan koperasi-koperasi lainnnya itu biasanya berkembang secara kualitatif. Keanggotannya sangat terbatas dan stagnan itu-itu saja. Namun secara kualitas dapat ditingkatkan menjadi koperasi yang efisien, efektif dan fungsional dengan daya guna yang terjamin.

Koperasi santri maupun per stambuk sangat berguna dalam pengumpulan dana secara berkala sehingga saat sebuah stambuk menamatkan sekolahnya mereka telah mempunyai dana kolektif untuk memulai sebuah usaha, mendirikan pesantren maupun lembaga lainnya yang kemudian menjadi batu loncatan kepada santri tersebut menuju karir yang lebih baik. Dengan demikian potensi mereka untuk melakukan dakwah bil hal dapat terlaksana dengan baik tanpa mengganggu rencana pendidikan, keuangan dan masa depan mereka.

Bidang-bidang usaha yang dapat digeluti sebuah koperasi pesantren adalah, usaha simpan pinjam (BMT), pendirian rumah sakit, poliklinik, gedung pertemuan, pemondokan, wisata rohani, travel haji, pusat bimbingan manasik haji, perusaan perkebunan, mendirikan pendidikan lanjutan seperti, universitas, sekolah tinggi, politeknik maupun kursus-kursus keahlian, Lembaga Amil Zakat (LAZ), pendirian usaha di bidang media komunitas seperti radio komunitas, televisi komunitas, inkubator bisnis, pusat pengembangan ekonomi syariah, produksi alat-alat ibadah, seperti, sarung, baju koko, jilbab, pakaian muslim dan lain sebagainya.

Bidang-bidang yang dapat digeluti oleh koperasi karyawan adalah, simpan pinjam, minimarket, perkulakan, katering, rumah makan, kios-kios sembako, biro jasa bangunan (kontraktor), jasa-jasa pemeliharaan lainnya seperti perkebunan, taman-taman, listrik dalan lain sebagainya, wartel, perkebunan dan lain-lain.

Bidang-bidang usaha koperasi guru biasanya berkisar pada usaha simpan pinjam antar anggota, usaha percetakan dan penerbitan buku umum, pendidikan, novel dll, majalah populer, jurnal ilmiyah, inkubator bisnis dan usaha, juga jasa konsultasi pendidikan atau biro konsultan, penerjemahan, riset penerjemahan buku ke berbagai bahasa yang dijual secara komersil, baik itu bahasa daerah maupun internasional, jasa bantuan hukum, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), jasa riset dan penelitian, seminar, pertemuan, Event Organizer (EO) untuk seminar, rapat dan forum diskusi, jasa desain software untuk koperasi, anak-anak, pendidikan, bisnis maupun untuk dakwah, jasa komputerisasi pada lembaga, bisnis web programming and design dan lain sebagianya.

Bidang-bidang koperasi santri biasanya berkisar pada simpan-pinjam, usaha-usaha bisnis yang diusulkan anggota yakni orang tua santri sesuai dengan karakter domisili masing-masing, EO, rekaman musik hasil kreasi santri, penjualan kreasi santri lainnya seperti kaligrafi, film kreasi santri dan bentuk-bentuk kreasi lainnya, usaha tolong menolong antara orang tua santri antara yang mampu dan yang tidak mampu, mendirikan lembaga pesantren di tempat domisili atau konsulat masing-masing sesuai dengan bentuk dan kebutuhan masing-masing, kampanye-kampanye filantropi dan lain sebagainya.

Koperasi Alumni biasanya berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman dan masyarakat kontemporer, koperasi ini merupakan ujung tombak pesantren dalam menciptakan dan kreasi bisang bisnis usaha modern dan termutakhir sesuai dengan perkembangan zaman saat itu. Namun biasanya selain usaha-usaha itu, koperasi alumni juga bergerak di bidang outsourching, perusaaan pengerahan dan penempatan tenaga kerja, manajemn SDM, industri, industri bursa saham, pariwisata dalan lain-lain yang sifatnya sudah umum dan tidak selalu berkaitan dengan dunia kepesantrenan.



























BAB III
METODE EVALUASI

1. Model evaluasi yang digunakan
2. tujuan evaluasi
3. Lingkup tempat dan waktu evaluasi
a)    Profil Kopontren di Lokasi Sampel
Dari segi setting wilayah penelitian, data kajian diperoleh wilayah Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, dan secara keseluruhan meliputi beberapa daerah tingkat dua yaitu, Kabupaten Sukabumi, Tasikmalaya, Subang, Cirebon, Bekasi, Madiun, Kediri, Malang, Situbondo dan Jombang. Dari segi kuantitas, jumlah Kopontren di Indonesia menurut data Proyek Peningkatan Ponpes Departemen Agama terdapat sekitar 1.400 unit, dan tidak kurang 30 persen berada di Propinsi Jawa Timur, kemudian sekitar 17 persen di antaranya berlokasi di Propinsi Jawa Barat. Khusus di Provinsi Jawa Timur, sebanyak 53 persen Ponpes berada di lokasi pemukiman, sekitar 23 persen berlokasi di daerah pertanian, 15 persen di daerah Pegunungan, masing-masing sekitar lima persen di daerah tepian sungai dan di kawasan pantai, dua persen di daerah industri dan kurang dari satu persen berada di daerah pedalaman. Sedangkan di Provinsi Jawa Barat, sekitar 47 persen berdekatan dengan lokasi pemukiman, 32 persen berlokasi di daerah pertanian, kemudian disusul 17 persen di daerah pegunungan, masing-masing sekitar 3 persen di daerah tepian sungai dan di kawasan pantai, dua persen di daerah Industri dan kurang dari satu persen berlokasi di daerah pedalaman. Hal ini mengindikasikan potensi Kopontren untuk berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya ternyata cukup besar.
b)    Tempat Evaluasi
Berdasarkan peta penyelenggaraan Diklat Perkoperasian, maka lokasi kajian ditetapkan di wilayah provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat.

4. Instrument pertanyaan evaluasi
5. Metode dan instrument pengumpulan data
6. Teknik dan analisis data
a)    Teknik Pengumpulan Data
Data primer dihimpun melalui seperangkat instrumen (kuesioner) terstruktur dalam bentuk interview guide dengan opsi tertutup dan terbuka, dan peluang argumentasi/alasan responden atas setiap jawaban yang diberikannya.
b)    Populasi dan Teknik Penarikan Sampel
Populasi dalam penelitian kajian evaluasi ini adalah Kopontren yang  berlokasi diwilayah Jawa Timur dan Jawa Barat yang telah mengikuti program diklat dari Kementerian KUKM. Adapun teknik penarikan sampel dilakukan secara sengaja (purposive sampling method). Hal ini didasarkan pada pertimbangan klasifikasi dan karakteristik Kopontren yang antara lain adalah jenis usaha dan jumlah santri.






DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. 1987, Pendidikan Dari Masa ke Masa: Jakarta: PT.Armico.
Arikunto, Suharsini. 2001. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Budimansyah, Dasim. 2002, Model Pembelajaran dan Penilaian. Bandung: PT. Genesindo.
Chabib, Thoha. 2001. Teknik Evaluasi Pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Daniel L. Sufflebeam, dan Anthony J. Shinkfield.1986, Systematic Evaluation: A Self Instructional guide to Theory and Practice. Boston: Kluwer-nijhoff Publishing
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997, Keterampilan menjelang 2020. DEPDIKBUD
Djaali. H. 2007, Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Djohar, MS. 2003, Pendidikan Srtategik: Alternatif Untuk Pendidikan Masa Depan. Jakarta : LESFI.
G.F Madaus, M.S.Scriven, & D.L. Stufflebeam (eds). 1985. Evaluation Model: Veiwpoints on educational and human service evaluation. Boston: Kluwer-nijhoff Publishing,
Hamalik, Oemar. 2001, Tehnik Pengukuran dan Evaluasi Pendidikan. Jakarta: CV. Mandar Maju.

Istijanto, 2005. Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum.
Joint Committee.1981. Standards for Evaluation of Educational Programs, Projects, and Materials. New York: McGraw-Hill.
Kadir, Raihan. 2006. Statistik Sosial. Jakarta: Universitas Islam Jakarta .
Kemal, Mustafa. 2005. Hubungan Kreatifitas dan Kepuasan Kerja dengan Kinerja Guru di Balai Pelatihan Pendidikan Kejuruan (BPPK) Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Propinsi DKI Jakarta, Tesis : UHAMKA Jakarta
Linda Crocker, James Algina. 1986, Introduction To Classical & Modern Test Theory: Holt, Rinehart and Winston. Florida. USA : INC – Orlando.
L.R. Gay. 1987, Competencies for Analysis and Application. Ohio. USA. : A Bell & Howell Publishing Company, Colombus.
Michael Quinn Patton. 1980. Qualitatif Evaluation Methods. Baverly Hills: Sage Publications.
Muslich. Masnur. 2007, Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan;
Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta : PT. Bumi Aksara .

Mulyasa. 2000. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Murwani, Santosa. 2005. Model Proposal, Jakarta : UHAMKA
Murwani, Santosa. 2007. Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta : UHAMKA Press
Rasyad. Aminuddin 1999, Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: UHAMKA PRESS & YAYASAN PEP-EX8.
Robert J.Gregory. 2004. Psychological Testing: history, principles and applications.4thed. Boston: Pearson Education Group Inc.
Schippers, Uwe. Patriana, M.P. 1994. Pendidikan Kejuruan di Indonesia, Bandung : Angkasa.
Slameto. 1988. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Silverius, Suke.1991. Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik, Jakarta : PT. Grasindo
Subyanto, 1998. Evaluasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam . Jakarta: PPLPTK.
Suke Silverius, 1991, Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan balik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Widodo, Slamet. 2004. Hubungan Antara Perhatian Orang Tua dan Motivasi Belajar Siswa dengan Hasil Belajar Siswa SMK Negeri 35 Jakarta, Tesis : UHAMKA Jakarta
Tim Penyusuan, Pedoman Tesis dan Disertasi, 2008, Jakarta : PPs UHAMKA
Yusuf, Farida,T. 2000. Evaluasi Program, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Yelon, Stephen L.1977, A Teachers world Psychology in the Classroom. Britain. Mc Graw-Hill, Inc.
Tim LAPENKOP Nasional, Lebih Mengenal Koperasi, Diterbitkan oleh LAPENKOP Nasional, Gedung D-III Lantai II, Kampus IKOPIN, Jl. Raya Bandung Sumedang Km 20,5 Jatinangor – Bandung 40600, www.lapenkop.coop, Lapenkop@lapenkop.coop





Tidak ada komentar:

Posting Komentar